Bagian Pertama
Beberapa hari yang kujanjikan di post berjudul 'Prolog' pada akhirnya mundur sebegitu jauh sampai dapat dikonversi menjadi hitungan bulan. Entahlah, ke-hectic-an rasanya tidak pernah berlalu. Dan sekarang, kebingunganku bertambah seiring dengan datangnya peristiwa-peristiwa dalam hidup yang ingin kubagi.
Oke, bagian pertama ini akan kuawali dengan tempat di mana waktu paling banyak kuhabiskan, tempat yang kadang melukiskan tawa, namun juga menyisakan sejuta kejangaran tak berujung yang terbawa sampai alam mimpi. Kantor.
Iya, lingkungan kerja rupanya masih menjadi hal yang asing bagiku. Manajemen waktu, mengemban amanah, hingga menuntaskan hak dan kewajiban rupanya tak sesederhana yang tertera di halaman-halaman buku paket saat sekolah dulu. Tapi hidup adalah belajar. Maka, selama napas masih berhembus dan jantung masih berdetak, setiap hari aku akan belajar.
Sudah selama kurang lebih satu bulan -dan akan berlanjut hingga dua bulan ke depan-, aku dan tiga orang teman di kantor ditugaskan untuk mengerjakan proyek di kantor yang lain. Lingkungan baru, rekan-rekan kerja baru, amanah baru, dan sungguh sebuah tantangan baru karena kemampuan adaptasiku yang bisa dibilang cupu. Rasanya baru sekejap aku berhasil menyesuaikan diri di kantor yang lama, baru timbul rasa memiliki, baru tumbuh rasa nyaman, tau-tau dituntut untuk kembali dari angka nol. Huft. Tapi lagi-lagi, hidup adalah belajar, dan aku paham bahwa setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing. Biarlah kemampuan adaptasiku cupu, mungkin aku unggul dalam hal lain. Tidur, misalnya. Nggak deng, becanda hehe.
Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana seorang temanku punya percaya diri yang tinggi dan kemampuan komunikasi serta negosiasi yang cocik. Mudah menyesuaikan diri dan berbicara dengan siapa saja bahkan orang yang baru ia kenal selama satu detik. Bagaimana seorang temanku yang lain tetap kalem di tengah tugas-tugas yang menumpuk. Meski kadang menggerutu dengan permintaan klien yang menurutnya bikin repot, dan mengaku lebih memilih cara instan seperti copy-paste kodingan, tapi tugas-tugasnya selalu selesai dengan mantap. Dan bagaimana seorang temanku lainnya seperti punya topeng senyum yang terpasang di wajah sehingga sama sekali tak memperlihatkan isi kepalanya -yang sebenarnya mungkin hampir meledak-. Tapi sekali lagi, hidup adalah belajar. Kemampuan-kemampuan itu bisa dilatih, kok. Tiga temanku pun sama, mereka punya kekurangan, tentunya. Tapi, belajar dari hal-hal positif yang mereka bawa, mengapa tidak?
Cerita pengembangan diri masih berlanjut. Sudah bukan rahasia lagi bahwa watak plegmatis yang kumiliki terkadang membawa kerugian seperti menimbulkan ketakutan terhadap beberapa orang yang kuanggap kurang ekspresif, kurang terbaca. Sebenarnya 'takut' bukan kata yang tepat, tapi aku belum berhasil menemukan penggantinya, jadi untuk sementara, kata itulah yang kugunakan. Entah mengapa rasa takut tersebut sering muncul ketika berhadapan dengan orang lain, terutama yang baru kukenal, mungkin karena aku terlalu menghindari konflik. Tapi seiring dengan banyaknya orang yang kujumpai, dan masalah-masalah yang kuhadapi, sedikit banyak aku belajar untuk lebih percaya diri, bisa bernegosiasi, dan berani berpendapat.
Sampai saat ini, dibanding teman-teman, tentunya aku masih jauh tertinggal. Kadang kalo takut, aku bersembunyi di belakang mereka. Tapi, karena hidup adalah belajar, aku yakin bisa berdiri sendiri nantinya, lepas dari rasa takut, dan jadi diri sendiri yang lebih baik.
Satu lagi, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Itu yang selalu kuteriakkan pada diri sendiri.
PS: Tulisan ini mengandung beberapa kata 'asing' serta majas hiperbola dengan level di atas rata-rata. Mohon direlasikan dengan kehidupan sehari-hari pembaca. Bagian dua segera menyusul, thanks.
Tertanda, Nada yang lagi belajar.
Oke, bagian pertama ini akan kuawali dengan tempat di mana waktu paling banyak kuhabiskan, tempat yang kadang melukiskan tawa, namun juga menyisakan sejuta kejangaran tak berujung yang terbawa sampai alam mimpi. Kantor.
Iya, lingkungan kerja rupanya masih menjadi hal yang asing bagiku. Manajemen waktu, mengemban amanah, hingga menuntaskan hak dan kewajiban rupanya tak sesederhana yang tertera di halaman-halaman buku paket saat sekolah dulu. Tapi hidup adalah belajar. Maka, selama napas masih berhembus dan jantung masih berdetak, setiap hari aku akan belajar.
Sudah selama kurang lebih satu bulan -dan akan berlanjut hingga dua bulan ke depan-, aku dan tiga orang teman di kantor ditugaskan untuk mengerjakan proyek di kantor yang lain. Lingkungan baru, rekan-rekan kerja baru, amanah baru, dan sungguh sebuah tantangan baru karena kemampuan adaptasiku yang bisa dibilang cupu. Rasanya baru sekejap aku berhasil menyesuaikan diri di kantor yang lama, baru timbul rasa memiliki, baru tumbuh rasa nyaman, tau-tau dituntut untuk kembali dari angka nol. Huft. Tapi lagi-lagi, hidup adalah belajar, dan aku paham bahwa setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing. Biarlah kemampuan adaptasiku cupu, mungkin aku unggul dalam hal lain. Tidur, misalnya. Nggak deng, becanda hehe.
Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana seorang temanku punya percaya diri yang tinggi dan kemampuan komunikasi serta negosiasi yang cocik. Mudah menyesuaikan diri dan berbicara dengan siapa saja bahkan orang yang baru ia kenal selama satu detik. Bagaimana seorang temanku yang lain tetap kalem di tengah tugas-tugas yang menumpuk. Meski kadang menggerutu dengan permintaan klien yang menurutnya bikin repot, dan mengaku lebih memilih cara instan seperti copy-paste kodingan, tapi tugas-tugasnya selalu selesai dengan mantap. Dan bagaimana seorang temanku lainnya seperti punya topeng senyum yang terpasang di wajah sehingga sama sekali tak memperlihatkan isi kepalanya -yang sebenarnya mungkin hampir meledak-. Tapi sekali lagi, hidup adalah belajar. Kemampuan-kemampuan itu bisa dilatih, kok. Tiga temanku pun sama, mereka punya kekurangan, tentunya. Tapi, belajar dari hal-hal positif yang mereka bawa, mengapa tidak?
Cerita pengembangan diri masih berlanjut. Sudah bukan rahasia lagi bahwa watak plegmatis yang kumiliki terkadang membawa kerugian seperti menimbulkan ketakutan terhadap beberapa orang yang kuanggap kurang ekspresif, kurang terbaca. Sebenarnya 'takut' bukan kata yang tepat, tapi aku belum berhasil menemukan penggantinya, jadi untuk sementara, kata itulah yang kugunakan. Entah mengapa rasa takut tersebut sering muncul ketika berhadapan dengan orang lain, terutama yang baru kukenal, mungkin karena aku terlalu menghindari konflik. Tapi seiring dengan banyaknya orang yang kujumpai, dan masalah-masalah yang kuhadapi, sedikit banyak aku belajar untuk lebih percaya diri, bisa bernegosiasi, dan berani berpendapat.
Sampai saat ini, dibanding teman-teman, tentunya aku masih jauh tertinggal. Kadang kalo takut, aku bersembunyi di belakang mereka. Tapi, karena hidup adalah belajar, aku yakin bisa berdiri sendiri nantinya, lepas dari rasa takut, dan jadi diri sendiri yang lebih baik.
Satu lagi, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Itu yang selalu kuteriakkan pada diri sendiri.
PS: Tulisan ini mengandung beberapa kata 'asing' serta majas hiperbola dengan level di atas rata-rata. Mohon direlasikan dengan kehidupan sehari-hari pembaca. Bagian dua segera menyusul, thanks.
Tertanda, Nada yang lagi belajar.
Komentar
Posting Komentar
komentar anda, semangat saya :)))