Gagal Maju Sidang?
Mengundurkan diri 2 jam sebelum prasidang ternyata rasanya cukup sakit. Tapi, banyak cerita dan hikmah di baliknya, akan sedikit kuceritakan di sini. Sepertinya ini tulisan panjang pertamaku setelah sekian lama.
Berawal dari jumat siang. Setengah jam sebelum
pendaftaran prasidang ditutup, aku sama tim dapet persetujuan dosen pembimbing
untuk daftar prasidang. Kondisi saat itu, aplikasi kami belum sempurna, pun
dengan dokumen-dokumen persyaratannya. Bermodal nekad dan keyakinan bahwa
hingga hari Senin kami bisa selesai -prasidang dijadwalkan hari senin-, kami
pun mendaftarkan diri.
Esoknya, hari Sabtu, kami kembali ke kampus dan merelakan
akhir pekan kami untuk mengejar prasidang. Biasanya, kami dibantu seorang teman
dari angkatan 2014 -Haikal namanya, satu tingkat di bawah kami- untuk menyelesaikan
aplikasi, karena memang dia lebih menguasai bidang tersebut. Tapi, hari itu Haikal
nggak bisa hadir sehingga kami memutuskan untuk mengerjakan dokumen dulu saja. Tapi
di tengah-tengah pengerjaan dokumen, aku sedikit dapet titik terang. Waktu baca
buku, aku menemukan solusi atas kebuntuan aplikasi kami. Akhirnya, aku kembali ke
aplikasi. Kupikir, jika punyaku berhasil, teman-teman satu tim ku pun pasti
berhasil. Hari Sabtu, hingga malam hari di rumah aku sibuk dengan aplikasi, tak
sedikitpun menyentuh dokumen. Hasilnya? Masih gagal juga.
Tiba hari Minggu. Kami kembali ke kampus dan kali ini
dibantu Haikal.
Sampai pukul 4 sore, dan GIK -Gedung Ilmu Komputer- sudah
hampir ditutup, tujuan belum juga tercapai. Aku dan tim pun berunding. Ada yang
cenderung mundur, ada pula yang maju. Akhirnya kami memutuskan buat konsultasi
dulu sama dosen pembimbing. Satu menit, dua menit, setengah jam, chat kami tak
kunjung dibalas. Sampai akhirnya, GIK benar-benar ditutup dan kami menunggu di
depan pintu, ditemani hujan. Banyak hal berkecamuk di pikiran kami masing-masing,
apalagi setelah tahu bahwa chat kami
sudah dibaca oleh dosen pembimbing, namun tidak dibalas alias diread doang.
Kami pun memutuskan untuk pulang dan menunggu balasan sang dosen.
Di jalan, awalnya aku sudah berpikir untuk mundur aja.
Tapi entah kenapa pas masuk kamar dan lihat batik yang sudah kusiapkan di depan
lemari, aku mendadak baper. Waktu itu sempat minta pendapat ke beberapa orang
termasuk mamah, dan semuanya menyarankan untuk maju aja. Begitu juga dengan
dosen pembimbing kami -yang akhirnya membalas-. Akhirnya, kami berempat sepakat
untuk maju.
Malam itu, aku mengerjakan dokumen secepat yang aku bisa.
Tidak ada kata tidur sebelum semuanya selesai. Tidak ada kata menyerah sebelum
berjuang sampai titik darah penghabisan. Cie hahaha. Tapi seiring berjalannya
waktu, kepanikan tidak dapat dihindari. Menjelang jam 6 pagi, aku nggak bisa
lagi menahan rasa panik karena dokumen belum juga selesai dan namaku sudah terdaftar.
Pikiran nggak menentu, air mata nggak bisa berhenti keluar. Akhirnya kuputuskan
untuk siap-siap dan langsung berangkat ke kampus aja, siapa tau dengan bertemu
teman-teman, aku bisa dapet motivasi baru dan pikiran yang jernih untuk
melanjutkan dokumen. Di jalan, aku berusaha untuk selalu positive thinking. Ingat
pesan teh Ipeh, selalu berhusnudzon kepada Allah. Sempat beberapa kali nyaris
menabrak orang dan kendaraan lain karena kantuk yang tak tertahankan.
Astaghfirullah. Tapi akhirnya alhamdulillah sampai ke kampus dengan selamat.
Di kampus, aku dan vini langsung bergegas ke ruang prodi
untuk melihat penguji. Qadarullah, dari 4 orang di timku, hanya aku yang
penguji dan ruang ujiannya berbeda. Ketiga temanku di ruang 2, dengan 3 orang
penguji yang salah satunya merupakan dosen pembimbing kami sendiri, dan aku di
ruang 5 dengan 3 orang penguji tanpa ada dosen pembimbing, karena dosen
pembimbing kami yang satunya sedang di luar kota. Aku menghela napas panjang.
Sempat down beberapa detik namun teringat kembali pesan teh Ipeh untuk selalu berbaik
sangka terhadap apapun rencana Allah.
Setelah itu, kami kembali ke GIK dan mengerjakan apapun
yang kami bisa. Mengetahui pengujiku berbeda dari teman-teman, entah kenapa aku
jadi nggak bisa berpikir jernih. Kukerjakan dokumen dengan hati gelisah. Ingin
nangis aja rasanya. Lalu aku curhat ke teh Ipeh, teteh mentorku. Menurutku,
mengeluh memang tidak boleh, dan curhat hanya untuk mengeluh pun jangan, cukup
keluhkan semua masalah kita sama Allah. Tapi, curhat sama manusia untuk mencari
solusi tentu diperbolehkan, karena bisa saja Allah menitipkan solusi itu lewat
orang-orang disekitar kita kan?
Alhamdulillah, setelah curhat sama teh Ipeh, sedikit
lebih tenang dan semangat untuk terus maju.
Namun, karena persyaratan yang belum lengkap, aku memutuskan
untuk konsultasi terlebih dahulu dengan dosen pembimbingku, pak Herbert.
Awalnya beliau bilang ‘Parah sih kalau belum selesai dokumen mah’, dan awalnya
beliau menyarankan mundur saja. Namun selang beberapa detik, beliau berubah
pikiran ‘Eh tapi nggak apa-apa coba dulu saja. Kalaupun gagal ya paling diulang,
paling tidak kalian sudah lewat fase itu’. Baiklah. Aku akan maju. Dari sana,
mulai bikin ppt sedikit-sedikit.
Waktu menunjukkan pukul 1 kurang 15 menit, jadwal
prasidangku jam 3 sore, tiba-tiba dapat undangan yang kedua kalinya untuk
briefing. Undangan pertama sebenarnya jam 11, timku juga sudah hadir, namun
karena baru ada 2 orang dan briefing tak kunjung mulai, kami kembali ke GIK
untuk menemui pak Herbert. Dan ternyata, briefing kedua dilakukan karena briefing
pertama hanya dihadiri oleh 2 orang saja.
Kami segera hadir di ruang briefing. Suasana sedikit
tegang. Dosen-dosen cukup kecewa karena undangan sebelumnya diabaikan oleh mahasiswa.
Di sana, pak Eddy menegaskan kembali bahwa syarat prasidang ada 3 yaitu draft
skripsi, dokumen teknis, serta jurnal. Tidak ada belas kasihan dan sebagainya.
Lebih baik mundur jika belum siap karena prasidang bukan hal yang main-main.
Aku kembali ragu untuk maju, qadarullah pemimpin briefing adalah dosen
pengujiku, dan beliau sudah jelas mengatakan syarat yang harus dipenuhi.
Akhirnya kuputuskan untuk mundur. Dan entah kenapa Izal
juga ikut mundur, mungkin karena belum siap. Dua temanku Vini dan bang Reggy
tetap maju. Tidak masalah buatku, karena aku pun akan tetap maju jika di posisi
mereka. Setiap dosen penguji punya pandangan yang berbeda tentunya, begitu juga soal
persyaratan yang harus dipenuhi, sebagian memberi toleransi, sebagian tidak.
Sangat berat rasanya ketika mengundurkan diri. Dua jam
menjelang jadwal prasidangku, aku malah mundur dan rasanya perjuangan beberapa
hari kemarin tidak terbayarkan. Itulah yang saat itu aku rasakan. Namun
sebenarnya aku yakin, nggak ada hal yang sia-sia.
Setelah itu aku dan Izal sepakat untuk jadi supporter
utama Vini dan Bang Reggy. Sebisa mungkin kami memperbaiki slide presentasi
mereka, sementara mereka pergi ke bawah untuk print dokumen-dokumen. Entah
kenapa, meski saat itu jujur aku sangat sedih, tapi aku nggak mau teman-teman
satu timku gagal. Mungkin karena sudah beberapa
bulan berjuang bersama, aku nggak mau mereka merasakan hal yang sama.
Kegagalan.
Hari itu, perasaanku tak menentu, kecewa, dan jadi lebih sensitif
tentunya. Setiap ada yang mengeluhkan revisi, aku kesal. Mereka mengeluhkan
revisi di depanku, yang gagal ikut prasidang ini, yang jelas-jelas ingin ada di
posisi mereka. Aku merasa nggak ada yang mengerti perasaanku, harusnya mereka
bersyukur. Aku juga selalu ingin menangis ketika melihat sepatu yang kupinjam
dari Syifa untuk prasidang sudah kusiapkan di dalam tas. Juga ketika
membayangkan wajah orang tuaku. Tapi semua itu kutahan saja. Aku hanya ingin
terlihat bahwa aku baik-baik saja.
Saat itu, rasanya nggak ingin pulang. Kuputuskan untuk
berdiam sejenak di sebuah tempat. Berdamai dengan diri sendiri. Menyembuhkan
luka.
Pagi pun tiba. Sangat aneh rasanya nggak ada tuntutan
untuk cepat-cepat menuju kampus. Saat yang lain sibuk dengan revisi, bimbingan,
dan sebagainya, aku masih di tempat. Hampa.
Tapi, setelah berdamai dengan diri sendiri , aku
menemukan banyak jawaban. Mungkin, ini adalah sebuah ujian kepasrahan. Selama
mentoring, aku selalu diajarkan untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian,
tidak mudah mengeluh, dan berprasangka baik kepada Allah. Beberapa hal sudah
kulalui, dan mungkin ini adalah ujian dengan tingkat kesulitan yang lebih
tinggi. Kegagalan dan kekecewaan. Pahit memang kelihatannya, tapi mungkin Allah sedang menguji seberapa sabar dan kuat diri ini. Dan,
ujian itu nggak akan melebihi batas kemampuanku kok. Seketika semangat yang
sempat hilang itu hadir kembali. Aku sangat bersyukur dan merasa Allah sangat menyayangiku.
Aku juga yakin banyak hal yang nggak aku ketahui, dan tugasku hanya berusaha
serta berprasangka baik. Setelah ini, aku bertekad untuk jadi orang yang lebih
positif lagi. Semoga aku bisa ya.
Oh iya, semangat untuk teman-temanku yang sebentar lagi
menghadapi sidang. Pesanku, berusaha semaksimal mungkin dan serahkan sisanya
pada Allah. Aku juga mau berterima kasih pada teman-teman satu tim yang selama
ini berjuang bersama dalam keadaan apapun. Vini, bang Reg, Izal. Juga kepada
Haikal yang sudah mau membantu, serta Galih dan Misdan yang juga melaju ke sidang.
I’m moving up. Tunggu aku di sidang Januari.
Komentar
Posting Komentar
komentar anda, semangat saya :)))