Guru. Muliakah?
gambar dari [sini] |
Pahlawan tanpa tanda jasa.
Semua orang tau siapa
mereka. Pahlawan yang mengabdi untuk negara bukan dengan perlengkapan perang
berupa peluru dan senapan, bukan juga dengan pakaian bercorak loreng-loreng
hijau lengkap dengan tameng untuk melindungi mereka di medan pertempuran.
Hari ini memang tanggal13
Mei, udah lewat jauh dari Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei, masih
sangat jauh juga dari Hari Guru yang diperingati setiap tanggal 25 November.
Tapi, rasanya tak masalah mengutarakan semua unek-unek yang ada pada hari ini.
Berawal dari sebuah
percakapan ringan dengan seorang sahabat. Tadinya kami sama sekali tidak
membahas soal pendidikan. Kami hanya sedang berbagi cerita tentang keluarga.
Kami berdua sama-sama memiliki seorang adik yang duduk di bangku kelas 6 SD,
adik kami baru saja melaksanakan Ujian Nasional minggu lalu. Menurut informasi
dari adik temanku itu, di sekolahnya siswa-siswi kelas 6 mendapatkan kunci
jawaban dari guru mereka sendiri. Begini ceritanya...
Sebut saja nama sekolahnya
SD Negeri Antah Berantah. Satu minggu sebelum UN berlangsung, seluruh siswa
kelas 6 di SD tersebut diminta untuk mengumpulkan nomor handphone mereka pada
wali kelas. Maklum, anak SD jaman sekarang udah pada punya hp, nggak kayak waktu
aku SD dulu, sekalinya punya hp layarnya warna hitam-kuning, itu pun bekas ayah
dan hanya bertahan 3 minggu, setelah itu rusak.
Di hari pertama UN, para
siswa yang sudah memberikan nomor hp mereka pada wali kelas, mendapatkan sms
berisi kunci jawaban. Adik temanku, kebetulan ia belum punya hp, jadi ia tidak
mendapatkan kunci jawaban seperti teman-temannya yang lain. Ia hanya melihat,
memperhatikan semua gerak-gerik teman-temannya dan menjadi saksi kejadian
memilukan itu. Hmm, memilukan? Mungkin lebih tepatnya, memalukan.
Tentu saja memalukan. Akurat
atau tidak, bukanlah pokok permasalahan dari kasus ini. Kalau akurat, yaaaah
mereka akan lulus dengan nilai bagus, lalu daftar dan lolos ke SMP favorit yang
mereka idamkan. Kalau ternyata kunci itu nggak akurat, mereka akan dapat nilai
jelek. Pahit-pahitnya sih, paling juga nggak lulus dan harus mengulang satu
tahun lagi.
Simple.
Tapi ada satu hal yang
menjadi masalah besar di samping akurat atau tidaknya kunci jawaban tersebut.
Kejujuran.
Kasihan siswa-siswi SD
Negeri Antah Berantah itu. Mereka yang masih polos dan imut-imut, pikirannya
harus ternodai. Otaknya harus tercuci oleh suatu cara pandang yang salah.
Aku harus lulus dengan nilai bagus.
Aku harus masuk SMP Favorit.
Aku akan melakukan segala cara untuk mencapainya, tak
peduli cara itu benar atau salah.
Semangat menggebu yang
mereka miliki memang bagus. Bahkan luar biasa. Tapi mereka tak sadar bahwa
mereka mengambil jalan yang salah.
Para guru yang seharusnya
mengarahkan mereka, membimbing mereka, malah menuntun mereka melalui sebuah
jalan pintas yang menyesatkan. Apa maksudnya semua ini? Didikan mereka hanya
akan menjerumuskan. Menjerumuskan anak-anak itu dan bangsa ini.
Parahnya lagi, menurut
sang narasumber –adik temanku- saat handphone milik salah satu temannya
terjatuh, teman-teman yang lain berusaha membantu menutupinya. Mereka bekerja
sama untuk mengalihkan perhatian sang pengawas yang berasal dari SD lain dan
meyakinkan mereka bahwa tidak sedang terjadi kecurangan.
Berani sekali mereka,
bersama-sama membodohi orang dewasa.
Siapa yang mendidik mereka
menjadi seperti ini? Hmm...
Aku membayangkan, 15 tahun
telah berlalu dan siswa-siswi SD Negeri Antah Berantah ini telah dewasa. Mereka
duduk mengelilingi meja besar di sebuah bangunan megah. Berbicara dengan tegas
dan yakin di hadapan atasan-atasan mereka. Membawa-bawa nama rakyat kecil (yang
seharusnya mereka sampaikan aspirasinya) sebagai salah satu tipuan untuk
mengantarkan mereka pada kekayaan. Setelah itu beberapa orang di antara mereka
saling pandang, tersenyum licik. Puas karena berhasil membodohi atasan mereka
atas kecurangan yang telah mereka lakukan dengan mulus.
Miris. Mungkin itulah kata
yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Bukan hanya aku, mungkin
juga temanku, adiknya dan orang-orang di luar sana yang sangat memuliakan guru.
Perbuatan itu terlalu hina
untuk seorang bergelar ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ ini. Aku yakin, tidak semua
guru melakukannya. Tapi sebagian kecil itu merusak citra guru. Mencoreng nama
baik mereka. Mereka yang masih menjunjung tinggi kejujuran. Mereka yang
berusaha menanamkan bekal kepada anak-anak penerus generasi bangsa bahwa segala
sesuatu akan terwujud dengan usaha keras, kegigihan dan kejujuran.
Seekor kerbau berlumpur,
semuanya berlabur.
Walau bagaimanapun, aku
masih percaya dan akan terus percaya. Guru itu profesi yang sangat mulia. Tanpa
mereka, tak akan ada dokter, penemu, peneliti, pencipta dan jutaan profesi lain
yang selama ini selalu lebih diangungkan.
Bangkitlah, pahlawan tanpa
tanda jasa. Lahirkan generasi cemerlang penerus Bangsa Indonesia!
gambar dari [sini] |
Thanks to: RZR dan sang adik ;)
Komentar
Posting Komentar
komentar anda, semangat saya :)))